KATA
PENGANTAR
Tiada
kata yang paling indah selain memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT karena atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga rangkaian penulisan makalahini
dapat terselesaikan walaupun dalam bentuk yang sederhana serta masih banyak
terdapat kekurangan. Penulisan makalah ini sebagai tugas
saya sebagai mahasiswa/mahasiswi. Dalam penulisan makalah ini
banyak hambatan dan kesulitan yang dihadapi, namun atas bimbingan dan rahmat
Allah SWT, dorongan, tekad dan kemauan yang keras sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam
kesempatan ini, secara khusus dengan hati yang sangat tulus ikhlas dan
penghargaan yang tak terhingga, ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada ke
dua orang tua saya yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik,
membesarkan, serta melimpahkan cinta dan kasih sayangnya dengan segenap
penuh keikhlasan.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena
itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dengan kerendahan hati, kamimengucapkan
banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
selama penyelesaian makalah ini. Semoga
dapat bermanfaat dan senantiasa mendapatkan Ridho Allah SWT, Amin…..
Kendari, Maret 2016
Muh. Harianto
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Foto jurnalistik sebagai produk jurnalistik
memang tak setua jurnalistik tulis. Ia berakar dari fotografi dokumenter
setelah teknik perekaman gambar secara realis ditemukan. Embrio foto
jurnalistik muncul pertama kali pada Senin 16 April 1877, saat suratkabar
harian The Daily Graphic di New York memuat gambar yang berisi
berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu. Terbitan ini menjadi
tonggak awal adanya foto jurnalistik pada media cetak yang saat itu hanya
berupa sketsa.
Karena memotret membutuhkan keahlian khusus
dan waktu lama, maka fotografer saat itu adalah seorang seniman. Kadang
fotografer tidak bekerja sendirian, ia harus dibantu seorang asisten untuk
membawa perlengkapan. Ia juga dibantu seorang drafter yang
membuat sketsa salinan foto ke dalam plat cetakan mesin press.
Tahun 1891 surat kabar harian New York
Morning Journal memelopori terbitan suratkabar dengan foto yang
dicetak menggunakan halftone screen, perangkat yang mampu memindai
titik-titik gambar ke dalam plat cetakan. Pada tahun 1897—saat mesin cetak
semakin canggih dibuat—halftone photographs mampu dicetak dengan
cepat secara massal. Kemudian fotografi dalam media cetak semakin populer.
Terbitan The Daily Graphic yang
memuat gambar terpaut lebih dari setengah abad sejak Louis J.M. Daguerre yang
berkebangsaan Prancis pada 19 Agustus 1839 mengumumkan hasil eksperimen
fotografinya. Setelah muncul di koran, fotografi—yang kala itu juga menjadi
pertentangan apakah sebagai produk seni—terus berkembang. Kemajuan pesat
fotografi tercatat pasca-tahun 1884 setelah George Eastman menciptakan film
(setara ISO 24 saat ini). Kemudian kamera boks pada 1888 yang diproduksi
besar-besaran melalui perusahan Kodak Eastman-nya.
1.2 Rumusan Masalah
a. Menjelaskan Sejarah Jurnalistik Foto Di Dunia
b. Menjelaskan sejarah jurnalistik Foto Di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Jurnalistik
Jurnalistik adalah
prosese perencanaan, pencarian, pengumpulan, penyuntingan atau pengeditan dan
penyebar luasan suatu berita melalui media meanstrim. Jurnalistik foto adalah
ilmu yang mempelajari tentang cara mengambil foto menggunakan sebuah kamera.
Foto jurnalistik adalah gambar yang dihasilkan oleh kamera yang mengandung
sebuah informasi tentang sebuah peristiwa yang bernilai berita yang didukung dengan
sebuah keterangan informasi 5 W + 1 H ( What, Who, Where, When, Why + How ).
2.2 Sejarah Jurnalistik Foto
A. Sejarah Jurnalistik Foto di Dunia
Foto jurnalistik sebagai produk jurnalistik memang tak setua jurnalistik tulis.
Ia berakar dari fotografi dokumenter setelah teknik perekaman gambar secara
realis ditemukan. Embrio foto jurnalistik muncul pertama kali pada Senin 16
April 1877, saat suratkabar harian The Daily Graphic di New York memuat gambar
yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu. Terbitan ini
menjadi tonggak awal adanya foto jurnalistik pada media cetak yang saat itu
hanya berupa sketsa..
Tahun 1891 surat kabar harian New York Morning
Journal memelopori terbitan suratkabar dengan foto yang dicetak menggunakan
halftone screen, perangkat yang mampu memindai titik-titik gambar ke dalam plat
cetakan. Pada tahun 1897—saat mesin cetak semakin canggih dibuat—halftone
photographs mampu dicetak dengan cepat secara massal. Kemudian fotografi dalam
media cetak semakin populer.
Sifat alami manusia rupanya tertarik pada
gambar. Grafis pada suratkabar menjadi daya tarik pembaca bahkan ketika era
visual belum dimulai. Saat sajian foto secara banal hanya bisa dinikmati lewat
produk percetakan, perkembangan foto jurnalistik bergantung pada kemajuan
teknologi mesin cetak.
Terbitan The Daily Graphic yang memuat gambar
terpaut lebih dari setengah abad sejak Louis J.M. Daguerre yang berkebangsaan
Prancis pada 19 Agustus 1839 mengumumkan hasil eksperimen fotografinya. Setelah
muncul di koran, fotografi—yang kala itu juga menjadi pertentangan apakah
sebagai produk seni—terus berkembang. Kemajuan pesat fotografi tercatat
pasca-tahun 1884 setelah George Eastman menciptakan film (setara ISO 24 saat
ini). Kemudian kamera boks pada 1888 yang diproduksi besar-besaran melalui
perusahan Kodak Eastman-nya..
Pada 1890an Jimmy Hare, asal Inggris meliput
perang Spanyol-Amerika sampai akhir Perang Dunia I dengan dua kamera yang
ditenteng menyerupai tas jinjing dengan berbungkus kulit. Foto-fotonya
diIllustrated American dan mingguan Collier’s Weekly meletakkan dasar-dasar
kerja seorang jurnalis foto.
Perkembangan foto jurnalisik sampai pada era
foto jurnalistik modern yang dikenal dengan “golden age” (1930–1950). Saat itu
terbitan seperti Sports Illustrated, The Daily Mirror, The New York Daily News,
Vu,dan LIFE menunjukkan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan.
Di era itu muncul nama-nama jurnalis foto seperti Robert Capa, Alfred
Eisenstaedt, Margaret Bourke-White, David Seymour dan W. Eugene Smith. Lalu ada
Henri Cartier-Bresson dengan gaya candid dan dokumenternya.
Cartier-Bresson, bersama Robert Capa, David
Seymour, dan George Rodger kemudian mendirikanMagnum Photos pada 1947. Magnum
adalah agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari
berbagai isu dan belahan dunia. Para pendirinya yang “alumni” LIFE kemudian
membagi area kerja; Afrika dan Timur Tengah, India dan Cina, Eropa, serta
Amerika.
Selain Magnum di era golden age ada agensi Black
Star yang dimotori Ernest Mayer untuk menyuplai LIFE(yang saat itu hanya
memiliki empat jurnalis foto). Lalu ada Farm Security Administration (FSA)
dengan foto potret yang legendaris karya fotografer Dorothea Lange, ibu dengan
anaknya yang menggambarkan secara kuat depresi Amerika tahun 1930an.
Istilah foto jurnalistik dipopulerkan oleh
Prof. Clifton Edom di AS tahun 1976 dengan bukunya “Photojournalism, Principles
and Practices” dan lewat kuliah yang diampunya di Universitas Missouri.
B.
Sejarah Jurnalistik Foto Jurnalistik Di Indonesia
Di Tanah Air, fotografi ditengarai masuk tahun
1841 oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut
di Batavia. Lalu kita mengenal nama Kassian Cephas, seorang pribumi anak angkat
pasangan Belanda dengan foto pertamanya yang diidentifikasi bertahun 1875.
Sejarah foto jurnalistik Indonesia diwakili
kantor berita Domei, suratkabar Asia Raya, dan agensi fotoIndonesia Press Photo
Service (IPPHOS).
Berbeda dengan Kassian Cephas yang cenderung
mooi indie, ada nama juru foto H. M. Neeb dengan karyanya yang fenomenal kurun
1904 tentang perang Aceh. Satu foto Neeb memperlihatkan barisan tentara
kolonial berdiri di atas benteng bambu dengan mayat-mayat bergeletakan di
tanah. Tanpa kehadiran Neeb tak ada kesaksian perang Aceh melawan kolonial.
Saat kedatangan Jepang pada 1942 dalam misi
penjajahan, munculah kantor berita Domei sebagai alat propaganda. Sebagian
tugas fotografer adalah merekam situasi politik saat itu untuk kantor berita
milik Jepang ini. Alexius “Alex” Mendur adalah kepala desk foto.
Alex Mendur, Frans Soemarto Mendur—yang
sebelumnya bekerja untuk Asia Raya, JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan
Oscar Ganda kemudian mendirikan IPPHOS pada 2 Oktober 1946 di Jakarta. Saat
ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta Frans Mendur memimpin biro foto di
sana. Foto hasil reportase Frans dititipkan melalui pilot yang terbang ke
Jakarta.
Foto-foto Alex dan Frans yang dibuat kurun
1945 menjadi koleksi IPPHOS. Foto yang paling fenomenal adalah imaji proklamasi
17 Agustus 1945 karya Frans Mendur.
Bulan Agustus di tahun 1945 mencekam. Tentara
Heiho bersenjata masih berpatroli di jalanan Jakarta. Subuh di bulan Ramadhan
tanggal 17 Agustus, dua bersaudara Alex dan Frans membawa kamera menuju
kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka berangkat karena
mendengar informasi adanya peristiwa penting terkait perjuangan.
Akhirnya pada sekira pukul 10.00 proklamasi
yang teramat penting itu terekam dalam lembaran film. Tentara Jepang yang
mengetahui pendokumentasian proklamasi berhasil merampas kamera Alex Mendur.
Kemudian menghancurkan pelat-pelat negatif. Namun Frans lebih beruntung dan
sempat menyembunyikan negatif karyanya. Ia menanam film-film itu di bawah pohon
di halaman kantor Asia Raya. Saat tentara Jepang menggeledahnya ia mengaku filmnya
telah dirampas Barisan Pelopor. Ketika keadaan berangsur aman Alex dan Frans
mencuri-curi kesempatan untuk mencetak foto itu di kamar gelap Kantor Berita
Domei.
Meski berita proklamasi kemerdekaan itu
tersiar di suratkabar esok harinya tapi foto proklamasi baru dimuat pada
Februari 1946 di harian Merdeka. Kelak film bersejarah ini hilang dan hanya
menyisakan lembar foto cetak.
IPPHOS merekam semangat dan pergolakan politik
Indonesia dalam upaya mencapai kemerdekaan (1945-1949), itulah mengapa foto-foto
IPPHOS banyak digunakan sebagai arsip visual sejarah. Dalam waktu tiga bulan
saja setelah proklamasi Alex dan Frans tercatat membuat tak kurang 2.500 foto.
Pada era revolusi tercatat beberapa fotografer
asing memotret penggalan cerita di dalam negeri. Di antaranya adalah Cas
Oorthuys dan Henri-Cartier Bresson. Cas adalah fotografer Belanda berlatar
arsitek yang datang untuk proyek pengerjaan buku foto. Sedangkan Bresson adalah
fotografer kamerad yang saat itu berkarya di Magnum.
Kini seiring lompatan teknologi yang canggih
foto jurnalistik pun mengalami kemajuan yang pesat. Peralatan fotografi yang
ringan memungkinkan jurnalis foto menjangkau tempat-tempat sulit dan jauh.
Kamera dan lensa yang cepat memungkinkan untuk memotret aksi dan rentetan
kejadian dengan sekejap. Alat pencahayaan tambahan berupa flash yang pintar
juga membuat foto menjadi lebih sempurna bahkan di lorong-lorong gelap.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jurnalistik adalah prosese perencanaan,
pencarian, pengumpulan, penyuntingan atau pengeditan dan penyebar luasan suatu
berita melalui media meanstrim. Jurnalistik foto adalah ilmu yang mempelajari
tentang cara mengambil foto menggunakan sebuah kamera. Foto jurnalistik adalah
gambar yang dihasilkan oleh kamera yang mengandung sebuah informasi tentang
sebuah peristiwa yang bernilai berita yang didukung dengan sebuah keterangan
informasi 5 W + 1 H ( What, Who, Where, When, Why + How ).
Istilah foto jurnalistik dipopulerkan oleh
Prof. Clifton Edom di AS tahun 1976 dengan bukunya “Photojournalism, Principles
and Practices” dan lewat kuliah yang diampunya di Universitas Missouri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.1000kata.com/2014/07/sejarah-foto-jurnalistik/
Wijaya,Abadi, “Foto
Jurnalistik”, modul Foto Jurnalistik dan Penulisan Berita pada
pelatihan di UKM Jhepret Club Fotografi.
Putra, Nedi, (2010) “Fotografi
Jurnalistik”, modul Foto Jurnalistik dan Penulisan Berita pada pelatihan di
UKM Jhepret Club Fotografi.